Ahlan Wa Sahlan Bikum




"ASSALAMUALAIKUM, AHLAN WA SAHLAN"

Senin

RINGKASAN AL-AQIDAH ATH-THAHAWIYAH INDONESIA


AL-AQIDAH ATH-THAHAWIYAH
Oleh : Abu Ja’far At-Thahawi

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Al-‘Allamah Hujjatul Islam Abu Ja’far Al-Warraq Ath-Thahawi-diMesir-berkata: “Inilah penuturan keterangan tentang aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menurut mahdzab para ahli fiqih Islam: Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari dan Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani Ridwanallahu‘alaihim ajma’in, beserta pokok-pokok keagamaan yang mereka yakini dan mereka gunakan untuk beribadah kepada Allah Rabbil ‘alamin.[1]

1. Kami menyatakan tentang tauhid kepada Allah, berdasarkan keyakinan semata-mata berkat taufiq Allah: Sesungguhnya Allah itu Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya. Menafikan sekutu bagi Alloh baru sempurna bila 3 macam syirik, yaitu :
a. Syirik dalam rububiyah Alloh, maksudnya meyakini bahwa disamping Alloh masih ada Tuhan lain yang menjadi pencipta. Syirik ini sangat sedikit dikalangan kaum muslimin. Perkataan yang mendekati bentuk syirik ini adalah perkataan Muktazilah; Kejelekan tidak lain hanyalah perbuatan manusia semata.
b. Syirik dalam uluhiyah Alloh, yaitu selain menyembah juga menyembah selain Alloh. Penyembahan bisa berupa minta pertolongan pada para solihin. Syirik ini disamarkan namanya menjadi tawasul.
c. Syirik dalam sifat-sifat Alloh, yaitu seseorang memberikan sifat-sifat pada makhluk Alloh yang merupakan kekhususan bagi Alloh.
Siapa saja yang menafikan 3 syirik terseut lalu ia mentauhidkan Alloh dalam rububiyah, uluhiyah dan sifat Alloh uwahid,yang akan mendapat keutamaan khusus dari Alloh sedangkan yang tidak menafikan maka sebaliknya. Alloh berfirman dalam Az zumar : 65.

2. Tiada sesuatupun yang menyamai-Nya.
            Ini adalah pondasi tauhid. Jadi tidak ada sesuatupun yang sama dengan Alloh baik dalam dzat, sifat dan perbuatan. Para ahli bid'ah mentakwilkan sifat Aloh lalu mengingkarinya dan berdalil dengan Asyuro : 11. Sebenarnya ayat tersebut menggabungkan 2 hal :
            a. Tidak menyamakan Aloh dengan makhluknya tetapi harus menghindari takwil dan ta'til.
            b. Menetapkan sifat-sifat bagi Alloh sebagaimana dalam Al Qur'an dan As Sunah dan harus menghindari penyamaan dengan makhluknya.

3. Tiada sesuatupun yang dapat melemahkannya.
4. Tiada yang berhak untuk diibadahi selain diri-Nya.
5.( Al Qodim ) yang Maha Terdahulu tanpa berawal, yang Maha Kekal tanpa pernah berakhir.
Al Qodim, bukan termasuk nama Alloh. Para hali kalam-lah yang memasukan nama tersebut dalam asma Alloh. Ibnu Qoyyim berkata, "Dibolehkannya kita mengatakan bahwa Alloh itu Qodim sekedar pengkabaran keadan Alloh bukan menetapkannya sebagai sifat karena sifat Alloh adalah tauqifiyyah.

6. Tak akan pernah punah ataupun binasa.
7. Tak ada sesuatupun yang terjadi, melainkan dengan kehendak-Nya.
8. Tak dapat digapai oleh pikiran, tak juga dapat dicapai oleh pemahaman.
9. Tidak menyerupai makhluk-Nya.
Pernyatan-pernyataan diatas merupakan bantahan terhadap golongan yang menyamakan Alloh dengan makhluknya ( Asy Syuro : 11 ). Tapi bukan berarti manfikan adanya sifat-sifat Alloh. Abu Hanifah berkata, "Alloh tidak sama dengan makhluknya dan tidak satu makhluk pun yang sama dengan Alloh."

10. Yang Maha Hidup tak pernah mati, yang Maha Terjaga dan tak pernah tertidur.
11. Mencipta tanpa merasa membutuhkan (kepada ciptaan-Nya), membagi rezeki tanpa mengharapkan imbalan.
Alloh tidak merasa keberatan dan terbebani sama sekali.
12. Mematikan tanpa gentar dan Membangkitkan (setelah mati) tanpa kesulitan.
13. Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum mencipta. Dengan terciptanya para makhluk, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Yang selalu tetap dengan sifat-sifat-Nya semenjak dahulu tanpa berawal, dan akan terus kekal dengan-Nya, sifat-sifat-Nya selamanya.
14. Nama-Nya Al-Khaliq sebagai Pencipta, tidaklah disandang-Nya baru setelah Dia menciptakan makhluk-makhluk-Nya. Dan namanya Al-Bari (Yang Menjadikan) tidaklah diambil baru seusai Dia menjadikan hamba-hamba-Nya.
15. Dia-lah pemilik sebutan Al-Rabb (Pemelihara), dan bukanlah Dia Marhub atau yang dipelihara. Dia juga pemilik sebutan Al-Khaliq dan bukanlah Dia sebagai makhluk.
16. Sebagaimana Dia adalah Dzat yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi), Dia-pun berhak atas sebutan itu, dari sebelum menghidupkan mereka. Demikian juga Ia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.
17. Untuk itulah, Dia-pun berkuasa atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu berharap kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah, dan Dia tidaklah membutuhkan sesuatu. Firman-Nya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura : 11).
Syaikh Ibnu Mani' berkata, "Perkataan Alloh maha kuasa terhadap keinginan-Nya adalah perkataan tidak benar. Kemaha kuasaan Alloh sebagaimana disebutkan Al Qur'an dan As Sunah adalah Ia maha kausa atas segala sesuatu, jadi meliputi keinginan dan kemampuan-Nya.
Muktazilah berkata, "Alloh tidak bisa mencegah seseorang untuk berbuta maksiat karena maksiat terjadi dengan keinginan orang tersebut bukan atas keinginan Alloh. Abu Al Khotob berkata, "Mereka mengatakan apakah perbuatan hamba diciptakan Alloh. Sungguh tidak ada pencipta selain Alloh yang maha terpuji. Mereka mengatakan apakah perbuatan buruk manusia juga merupakan kehendak atau irodah Alloh ?, Maka yang benar adalah bahwa irodah berasal dari Alloh. Kalau irodah Alloh tidak menghendaki sesuatu kemudia terjadi, maka ada sesuatu kekurangan pada diri Alloh." Irodah disebut sebagai irodah kauniyah qodariah bukan irodah syar'iyyah. Adapun pengertian irodah kauniyah qodariyah adalah keinginan Alloh meliputi semua hal baik yang baik atau yang buruk. Sedangkan Irodah kauniyah syar'iyyah adalah keinginan Alloh untuk hal-hal yang baik saja.

 Segala sesuatu berhajat pada-Nya. Semua perkara mudah dimata Alloh. Alloh tidak berhajat pada sesuatu pun. Alloh berfirman dalam Asy Syuro : 11
18. Dia menciptakan makhluk dengan ilmu-Nya.

19. Dia menentukan takdir atas mereka.
20. Dia menuliskan ajal kematian bagi mereka.
21. Tiada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, juga sebelum menciptakan mereka.
22. Dia memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk ta’at dan melarang mereka melakukan maksiat.
23. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya, sedangkan kehendak-Nya itu pasti terlaksana. Tidak ada kehendak bagi hamba-Nya melainkan memang apa yang dikehendaki-Nya. Apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi.
Segala sesuatu terjadi menurut kehendak Alloh. Baik maupun buruk, lurus maupun sesat. Hal ini bukan berarti Aloh mencintai segala yang dilakukan manusia. Karena cinta tidak identik dengan kehendak. Bila tidak begitu  berarti pandangan Alloh tidak ada bedanya antara orang taat dan durhaka padaNya.
Ulama salaf dan ahli fikih mereka menetapkan takdir Alloh dengan membedakan antara cinta dan kehendak Alloh. Ibnu Taimiyah, "Golongan Qodariyah berpendapat bahwa Alloh tidak mencintai kekafiran dan kefasikan serta kemaksiatan.Dia tidak menghendakinya, oleh karena itu terjadilah sesuatu yang tidak dikehendaki Alloh. yAng Dia kehendaki justru tudak terjadi. Golongan lain berpendapat bahwa sesatu yang dikehendaki Alloh akan terjadi sedang yang tidak maka tidak akan terjadi. Golongan kedua ini beranggapan bahwa Aloh menghendaki kekafiran, kemaksiatan dan lain-lain."
Kedua golongan ini bertentanagn dengan Al Qur'an, As Sunah dan Ijma' ulama. Para ulama sepakat bahwa apa yang diekehendaki Alloh pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi. Segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali atas kehendakNya. Dia tidak suka kerusakan dan tidak meriroi kekafiran pada hamba-hambaNya ( An Nisa : 108 )
24. Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, memelihara dan mengayominya karena keutamaan-Nya. Dia juga menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, menghinakan seseorang dan menghukumnya berdasarkan keadilan-Nya.
25. Seluruh makhluk berada di bawah kendali kehendak Allah di antara kemurahan, keutamaan, dan keadilan-Nya.
26. Dia mengungguli musuh-musuh-Nya dan tak tertandingi oleh lawan-lawan-Nya.
27. Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, atau mengungguli urusan-Nya.
28. Kita mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang daripada-Nya.
29. Sesungguhnya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba-Nya yang terpilih, Nabi-Nya yang terpandang, dan Rasul-Nya yang diridlai.
Setiap Rasul adalah nabi dan tidak setiap nabi belum tentu Rasul. Rasul adalah seseorang yang diutus Alloh untuk menyampaikan syareat baru. Nabi adalah seseorang yang diutus untuk mengukuhkan syareat Rasul sebelumnya dan sudah pasti ia diperintahkan untuk menyempaikan syareat tersebut. Rasul lebih utama dari pada nabi.
30. Sesungguhnya beliau adalah penutup para Nabi ‘Alaihimu As-Sallam.
Keyakinan ini tidak menjadi keyakinan orang-orang yang mensyaratkan bahwa hadits mutawatir yang dapat dijadikan dalil dalam masalah keimanan. Lebih-lebih mereka mengatakan bahwa dalam masalah aqidah hanya dalil dari Alqur'an yang dapat dijadikan pegangan. Dia pemimpin orang-orang bertakwa, Dia penghulu para Rasul.

Kekasih Rabb sekalian alam
Beliau bahkan adlaah kholilulloh ( kekasih Alloh ). Kholil lebih tinggi dari habib ( cinta ).
 31. Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.
Nabi telah meperingatkan umatnya bahwa setelah meninggal beliau akan banyak orang yang mengaku sebagai nabi. Padahal beliau adalah Nabi terakhir, tidak ada Nabi setelahnya.
32. Beliau diutus kepada golongan jin secara umum dan kepada segenap umat manusia, dengan membawa kebenaran, petunjuk dan cahaya yang terang.
Salah satu keyakinan Ahnmadiyah adalah mereka mengingkari adanya jin sebagai makhluk lain selain manusia. Mereka mentakwil ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan tentang jin. Jin ditakwil dengan manusia atau bagian dari manusia. Termasuk iblis menurut mereka adalah manusai yang jahat.
 33. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah; berasal dari-Nya sebagai ucapan yang tak diketahui kaifiyah (bagaimana)nya, diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai wahyu. Diimani oleh kaum mukminin dengan sebenar-benarnya. Mereka meyakininya sebagai kalam Ilahi yang sesungguhnya. Bukanlah sebagai makhluk sebagaimana ucapan hamba-Nya. Barangsiapa yang mendengarnya (mendengar bacaan Al-Qur’an) dan menganggap itu
sebagai ucapan makhluk, maka ia telah kafir. Allah sungguh telah mencelanya,
menghinanya, dan mengancamnya dengan Naar (Neraka) Saqar. Allah berfirman: “Aku akan memasukkan ke dalam (Naar) Saqar.” (QS. Al-Muddatsir: 26). Allah mengancam mereka dengan Naar Saqar tatkala mereka mengatakan: “Ini (Al-Qur’an) tidak lain hanyalah perkataan manusia.” (QS. Al-Muddatsir : 25). Dengan itu kita pun mengetahui bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (ucapan) Pencipta manusia dan tidak menyerupai ucapan manusia.
            Pendapat masalah ini menjadi 9 golongan, menurut Ibnu Abil Izz golongan ketiga berkata, Al Qur'an adalah sesuatu yang abstrak yang terdapat dalam Dzat Alloh yang berisi perintah, larangan dan berita. Jika diungkap dengan bahasa Aarb dinamai Al Qur'an, bila dengan Ibrani menjadi Taurot. Termasuk golongan ini adalah Ibnu Kulab.
Golongan ke tujuh, kalam Allah adalah perkataan yang ada pada Dzat Allah dan Dia jadikan berada pada makhluk yang Dia ciptakan. Ini adalah pendapat Abu Manshur Al Mathuridi.
Golongan ke sembilan, Allah berkata kapan Dia kehendaki dan dengan cara sesuai yang Dia maui. Dia berkata dengan suara yang bisa didengar. Sifat kalam Allah qadim (sudah ada sejak dahulu). Walaupun suara yang terdengar baru ada ketika berbicara. Ini adalah pendapat ahlu sunnah dan ahlu hadits.
Ahlu sunnah berpendapat adalah perkataan Allah yang diturunkan kepada Rasul dan bukan makhluk, baik lafadz maupun makna. Jibril mendengar Al Qur`an dikatakan Allah. Al Qur`an tertulis di mushaf-mushaf berada di dada-dada kaum Muslimin dan dikatakan oleh lisan mereka. Az Zumar:1, As Sajadah: 13, An Nahl: 102.
Al Qur`an akan lepas dari dada-dada kaum Muslimin, dari mushaf-mushaf hingga tidak tersisa satu ayat pun.
Perkataan Imam Ath Thahawi, "Namun bagaimana Allah mengucapkannya kita tidak wajib tahu." Maksudnya kita tidak tahu bagaimana Allah mengucapkan kalam-kalam tersebut dan kalam-kalam tersebut bukan majaz.
34. Barangsiapa yang mensifati Allah dengan kriteria-kriteria manusia, maka dia sungguh telah kafir. Barangsiapa yang memahami hal ini niscaya dia dapat mengambil pelajaran. Akan dapat menghindari ucapan yang seperti perkataan orang-orang kafir, dan mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidaklah seperti makhluk-Nya.
35. Melihat Allah adalah hak pasti (benar adanya) bagi Ahli Jannah (penduduk surga) tanpa dapat dijangkau oleh ilmu manusia, dan tanpa manusia mengetahui bagaimana memahami hal itu sebagaimana dinyatakan Rabb kita dalam Al-Qur’an:
Wajah-wajah (orang mukmin) pada waktu itu berseri-seri. Mereka betul-betul memandang kepada
Rabb mereka.” (QS. Al-Qiyamah: 22-23).
Pengertian (sebenar)nya, adalah sebagaimana yang dikehendaki dan diketahui oleh Allah. Setiap hadits shahih yang diriwayatkan dalam persoalan itu, pengertian sesungguhnya adalah sebagaimana yang dikehendaki Allah. Tidak pada tempatnya kita terlibat untuk mentakwilkannya dengan pendapat-pendapat kita, atau menduga-duga saja dengan hawa nafsu kita. Tidak akan selamat agama seseorang kecuali jika dia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengembalikan ilmu yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya.
Hadits-hadits tentang melihat Allah telah mencapai derajat mutawatir. Sekitar tiga puluh sahabat yang meriwayatkannya. Melihat Allah disamakan dengan melihat matahari dan bulan, bukan berarti menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Yang disamakan "melihat-Nya" bukan objek. Dalam hadits, Rasul menyebutkan bahwa tak seorang pun bisa melihat Allah selama ia hidup di dunia ini. Memahami melihat Allah, difahami menurut kehenadak dan ilmu Allah. Kita tidak boleh mentakwilkannya.
36. Sesungguhnya Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan kepada Allah. Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah, maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya untuk memurnikan tauhid, menjernihkan ilmu pengetahuan dan membetulkan keimanan. Maka menjadilah ia orang yang terombang-ambing antara keimanan dan kekufuran, pembenaran dan pendustaan, pengikraran dan pengingkaran. Selalu kacau, bimbang, tidak bisa dikatakan ia membenarkan dan beriman, tidak juga dapat dikatakan kafir dan ingkar.
37. Tidak sah keimanan seseorang yang mengimani bahwa penghuni jannah akan memandang Rabb mereka, yang semata-mata ditegakkan di atas prasangka (keragu-raguan) menganggapnya sebagai ‘praduga’.
Misalnya dengan penggambaran bahwa Allah akan dilihat dengan keadaan demikian-demikian.

Atau takwil dengan pemikirannya.
Yaitu mentakwilkan (ayat atau hadits tentang hal tersebut) sehingga menyimpang dari arti tekstualnya dan bertentangan dengan pemahaman orang Arab.

Karena penafsiran ‘penglihatan’ itu, dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb, haruslah tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah sandaran dien/keyakinan kaum muslimin. Barangsiapa yang tidak menghindari penafian Asma’ dan shifat Allah atau menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya, dia akan tergelincir dan tak akan benar dalam mensucikan Allah.
Menetapkan sifat dapat dilihat sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an dan As Sunnah adalah benar. Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah menyimpang. Karena berlebih-lebihan dalam menetapkan sifat Allah.

Sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.
38. Maha suci diri-Nya dari batas-batas dan dimensi makhluk atau bagian dari makhluk, anggota tubuh dan perangkat-Nya. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah yang mengungkungi makhluk ciptaan-Nya.
Syaikh Muhammad bin Mani berkata, "Dia hendak membantah golongan musyabbihah. Tetapi pernyataannya terlalu umum dan samar. Seharusnya membantah mereka dengan nash-nash dan Al Hadits lebih tepat dan utama. QS. Asy Syuraa: 11……"
Jadi Allah berada tinggi jauh di atas mekhluk-Nya, bersemayam di atas 'Asry, terpisah dari makhluk-Nya. Setiap malam turun ke langit dunia dan pada hari kiamat akan mendatangi manusia. Semuanya tidak boleh ditakwilkan.
39. Mi’raj (naiknya Nabi ke Sidratul Muntaha) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh kasarnya (jasmani) dalam keadaan sadar, dan juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah-pun memuliakan beliau dan mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan.
“Tidaklah hatinya mendustakan apa yang dilihatnya.” (QS. An-Najm: 11).
Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.2
            Nabi pada malam Isra` Mi'raj melihat Allah dengan mata hatinya tidak dengan mata kepalanya.
40. Haudh (telaga) Al-Kautsar yang dijadikan Allah kemuliaan baginya -dan pertolongan bagi umatnya- adalah benar adanya.
Penjelaskan hadits-hadits tentang haudh Nabi dinyatakan sebagai hadits mutawatir.
41. Syafa’at yang diperuntukkan Allah bagi mereka adalah benar adanya sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.
Hadits ini tentang ini termasuk hadits mutawatir. Dalam hadits, bahwa syafa'at Nabi ada delapan.
42. Perjanjian yang diikatkan Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka dilahirkan) adalah benar adanya.
Imama Thahawi merujuk ke beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia yang bermacam-macam bentuk dan jenisnya dari ulang rusuk Adam.
43. Semenjak zaman yang tak berawal, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan masuk Jannah dan yang akan masuk Naar secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan bertambah atau berkurang. Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah).
Ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amru: Rasul pernah membawa dua kitab. Beliau berkata kepada kami, "Tahukah kalian apa isi dua kitab ini?" kami menjawab, "Tidak wahai Rasulullah, kalau anda tidak mengabarkan kepada kami." Kemudian sambil menunjuk kitab yang ada di tangan kanan, beliau bersabda, "Kitab ini berasal dari Rabb semesta alam yang memuat nama-nama penduduk surga yang dilengkapi nama bapak-bapak dan nama kabilah-kabilah mereka. Kemudian Allah mengumpulkan mereka menjadi satu (dalam kitab ini). Jumlah nama-nama yang ada di dalam kitab ini tidak akan bertambah maupun berkurang selama-lamanya." Kemudian sambil menunjuk kepada kitab yang ada di tangan kiri, beliau bersabda, "Kitab ini berasal dari Rabb semesta alam yang memuat nama-nama penduduk neraka yang dilengkapi nama bapak-bapak dan nama kabilah-kabilah mereka. Kemudian Allah mengumpulkan mereka menjadi satu (dalam kitab ini). Jumlah nama-nama yang ada di dalam kitab ini tidak akan bertambah maupun berkurang selama-lamanya.……" HR. Tirmidzi. Dia dan juga yang lain menilai shahih hadits ini.
44. Allah juga mengetahui perbuatan-perbuatan yang akan dilakukan hamba-hamba-Nya setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi kodratnya.
Ini adalah penggalan hadits diriwayatkan dari Ali dalam shahihain, ketika para sahabat mendengar sabda Rasulullah diatas mereka berkata, "Kalau begitu kami akan bersungguh-sungguh."
Amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya.
Ini penggalan hadits yang diriwayatkan dari Sahl bin Sa'd As Sa'idi yang diriwayatkan oleh Bukhari

Orang yang bahagia adalah orang yang berbahagia dengan ketentuan kodratnya. Demikian juga orang yang celaka adalah yang celaka dengan ketentuan kodratnya.
Ini semakna dengan hadits yang diriwayatkan Al Bazar dari Abu Hurairah secara marfu' sanadnya shahih.
45. Asal dari takdir adalah rahasia Ilahi yang tak diketahui hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan termasuk perbuatan yang berlebih-lebihan. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam membahas, memikirkan dan memperbincangkannya.
Berdasarkan sabda Nabi apabila diperbincangkan masalah takdir hendaklah diam.

Sesungguhnya Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya:
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiyaa’: 23).
            Ibnu Abil 'Izz menyebutkan bahwa dasar-dasar beribadah dan keimanan seseorang adalah penterahan diri secara penuh kepada Alalh Swt dan tidak mempertanyakan detail hikmah-hikmah yang terkandung dalam perintah-perintah dan larangan-larangan Allah serta syari'at-syari'at-Nya.
Ibnu Taimiyah berkata, "Beriman kepada takdir ada dua tingkatan:
Pertama beriman bahwa Allah Ta'ala mengetahui apa yang akan dilakukan hamba-Nya dengan ilmu-Nya yang Qadim (sudah ada sejak dahulu). Allah juga mengetahui segala hal ihwal hamba-Nya yang menyangkut perbuatan taat dan maksiat, rizki dan ajal. Allah telah menulis takdir hamba-Nya. QS. Al Hajj: 70.
Kedua beriman bahwa Allah mempunyai kemauan dan pasti terlaksana dan kehendak yang mencakup segala sesuatu. Yang dikehendaki pasti terjadi, sedang yang tidak dikehendaki tidak akan terjadi...."
Allah menyukai orang yang bertkwa, berbuat baik, adil, beriman dan beramal shalih. Dan sebaliknya Allahtidak menyukai orang-orang kafir, tidak meridhai orang-orang fasik, tidak menganjurkan perbatan buruk. Para hamba benar-benar melakukan perbuata-perbuatan, tetapi perbuatan-perbuatan itu diciptakan Allah.
Para hamba ada yang mukmin atau kafir, orang baik atau jelek, orang yang melakukan shalat, shaum. Mereka berkehendak terhadap amalan-amalan mereka. Akan tetapi Allah yang menciptakan mereka serta menciptakan kekuasaan dan kehendak mereka. QS. At Takwir: 28-29.

Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Dia lakukan itu?”, berarti ia menolak hukum Al-Qur’an. Barangsiapa menolak hukum Al-Qur’an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

46. Maka inilah adalah….
            Perkataan 'itu adalah derajat orang –orang yang mendalami ilmunya' adalah mereka yang mempunyai ilmu tentang ajaran yang dibawa oleh para Rasul. Mereka juga paham bagaimana harus bersikap dalam perkara-perkara ghaib. Tentang takdir Allah yang Allah sembunyikan dari pengatahuan manusia. Mereka mempunyai ilmu tentang semesta alam. Mereka paham ilmu syari'at   baik yang menyangkut dasar maupun cabang-cabangnya.
Barangsiapa yang mengingkari satu ajaran saja dari ajaran yang disampaikan Rasulullah, maka ia termasuk golonganorang-orang kafir. Dan barangsiapa mengaku mengetahui perkara ghaib, juga termasuk orang-orang kafir.

Itulah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang hatinya terang dari kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Karena ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu agama-pent.) dan ilmu yang terselubung baginya (ilmu ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama berarti kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan seseorang tidak akan sempurna bila dia tidak mengakui adanya alam nyata dan tidak menghindarkan tindakan mencari-cari pengetahuan tentang perkara ghaib.
47. Kita juga mengimani adanya Al-Lauh Al-Mahfudz
Yang dimaksud Al Lauh adalah sebagaimana yang tercantum di dalam surat QS. Al Buruj: 22.
            Lauh al mahfudz termasuk perkara ghaib yang wajiob diimani. Ia tidak ada yang mengetahui bagaimana hakikatnya kecuali Allah semata. Seseorang yang berkeyakinan bahwa ada sebagian orang shalih mengetahui apa-apa yang tertulis di lauh al mah fudz berarti dia inkar terhadap ayat-ayat al qur'an dan hadits-hadits yang secara tegas yang menyebutkan perkara ghaib hanya diketahui oleh Allah semata.

Al Qalam
Para ulama berbeda pendapat tentang mana yang diciptakan Allah terlebih dahulu. Al Qalam atau ‘Arsy. Menurut Syaikh Al Albani Qalam terlebih dahulu diciptakan. Ibnu Taimiyah berkata, “Para ulama mengatakan bahwa’ Arsy adalah makhluk yang pertama kali diciptakan.”
Dan segala yang tercatat di dalamnya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan untuk terjadi, agar urusan itu batal, mereka tak akan mampu untuk mengubahnya. Sebaliknya seandainya mereka berkumpul menghadapi urusan yang telah Allah tetapkanuntuk tidak terjadi, agar urusan itu terjadi, merekapun tidak akan mampu mengubahnya. Qalam (catatan) Allah telah ditetapkan untuk segala sesuatu yang akan terjadi sampai datangnya Hari Kiamat.
Perkataan “telah kering” pena untuk menulis segala ketetapan Allah yang bakal terjadi hingga “hari kiamat” adalah penggalan akhir hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas.
 Sesuatu yang -ditakdirkan- tidak akan menimpa seorang hamba, maka tidak akan
menimpanya. Dan yang akan mengenainya, maka tidak akan meleset.

48. Hendaknya seorang hamba tahu bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa
berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang dapat
membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, menggantinya, mengurangi,
ataupun menambahnya. Itulah buhul ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an dan ke-Rububiyyah-an Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang difirmankan dalam Al-Qur’an:
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan : 2). Dan firman-Nya:
Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.(QS. Al-Ahzab : 38).
Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya.
Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya.3 Karena lewat praduganya ia telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi.
Akhirnya ia kembali dengan membawa dosa dan kedustaan.
49. ‘Arsy dan Kursiy-Nya adalah benar adanya.
Arsy adalah makhluk Allah yang paling besar. Secara bahasa Arsy adalah raja. Tentang kondisi arsy Allah berfirman: QS: Al Haqqah:17.
Dalam Hadits disebutkan jarak antara ujung telinga dengan pundak salah satu malaikat pemikul Arsy sejauh perjalanan 700 tahun. Arsy mempuntai tiang-tiang penyangga. Arsy merupakan atap dari surga firdaus. Adapun ayat tentang kursyi. Qs: Al baqarah: 255.
3 [Ungkapan ini terdapat juga dalam naskah aslinya sebagai berikut: “Celakalah orang yang sesat dalam memahami takdir-Nya karena hatinya
yang sakit.” Dalam naskah yang lain “Celakalah orang yang hatinya sakit dalam memahami takdirnya.” Yang tertulis di sini berasal dari
matan AL-Aqidah Ath-Thahawiyyah dengan syarah Al-Albany.].
7
50. Dia tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya itu dan apa yang ada di bawahnya.
Allah tidak bergantung kepada siapa pun. Makhluk Allah yang dibawah sangat membutuhkan bantuan Allah. Allah berada diatas arsy dengan kehendaknya. Allah menhuasai dan memegang arsy. Tapi Allah la yang membutuhkan arsy, tapi arsy lah yang membutuhkan Allah. Iama Malik pernah ditanya tentang :"Kemudian beristiwa' di atas arsy."(Al A'raf:53), beliau menjawab:"Allah bersemayam sudah kita ketahui, namun pertanyaan bagaimana Allah bersemayam termasuk hal-hal yang tidak boleh dilakukan."  

51. Dia menguasai segala sesuatau dan  dan apa-apa yang ada di atasnya.
            Allah menguasai segala sesuatu dan berada jauh di atas mereka, atau berada di atas arsy.
Allah menguasai segala sesuatu dan berada jauh di atas mereka atau berada di atas ‘Arsy.
Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala sesuatu.

52. Kita katakan bahwa Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi Musa ‘alaihis salam untuk berbicara dengan sebenar-benarnya. Perkataan-perkataan tersebut kami katakan dengan penuh keimanan, pembenaran dan ketundukan.
53. Kita mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.
54. Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum muslimin dan kaum mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.
Ibnu Abil ‘Iz berkata, Imam At Thahawi nampaknya berpendapat bahwa Islam dan Iman adalah satu. Dia berpendapat bahwa seseorang yang melakukan dosa tidak dikatakan keluar dari Islam selama dia tidak menggap halal melakukan perbuatan dosanya. Yang dimaksud Ahli Kiblat adalah orang-orang Islam yang melakukan shalat menghadap kiblat, meskipun mereka masih memprturutkan hawa nafsu atau bermaksiat selama mereka tidak mendustakan ajaran yang dibawa oleh Rasul.
55. Kita tidak boleh membahas secera mendalam tetang Allah dan tidak melakukan debat kusir tentang (ajaran) dien Allah.
56. Kita tidak menyanggah Al-Qur’an, dan bersaksi bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin,
Mu’tazilah mengatakan Al Qur`an adalah makhluk. Golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah menafsiri kalam Ilahi dengan perkataan yang abstrak dan qadim, untuk menutupi kesesatannya. Ini tidak masuk akal karena perkataan tersebut menyiratkan bahwa seseorang yang berkata-kata tidak bisa dipastikan dia ingin diam atau bisa juga membisu.
Abu Sa’id bin Kulab tidak bisa menjelaskan pendapatnya dengan alasan yang masuk akal, yaitu pokoknya perkataan dari ‘diam dan bisu’. Padahal diam dan bisu bisa digambarkan, jadi perkataan mesti bisa digambarkan.
Dalam hal ini, kalau para Rasul yang mengatakan, meskipun kita tidak mampu menggambarkan, kita harus meyakini. Tetapi kalau berkenaan dengan sesuatu yang bisa ditelusuri akal, orang yang mengatakan mesti harus bisa menjelaskan dan menggambarkannya.
Al Qur'an diturunkan dengan perantaraan Ruhul Amin (Malaikat Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu para Nabi yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa ‘ala alaihi ajma’in (salaaman tasliman katsiran). Ia adalah Kalam Ilahi yaitu yang tak akan dapat diserupakan dengan ucapan makhlukmakhluk- Nya. Kita pun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) tidak akan menyelisihi Jama’ah kaum muslimin.
57. Kita tidak mengafirkan Ahli Kiblat (kaum muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang dihalalkan.
Maksudnya menganggapnya halal dalam hati atau meyakini yang halal. Meskipun tidak meyakini kehalalan dosanya ia berhak mendapat adzab dari Allah Ta'ala sesuai dengan dosanya bila Allah Ta'ala tidak memaafkannya, bila ia diadzab, tidak kekal karena adanya iman dalam hatinya.
Ibnu Abdil 'Iz menukil perkataan Ahlu Sunnah bahwa iman meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dan berkurang, perbuatan dosa apapun bentuknya adalah bentuk kekafiran secara amalan, bukan merupakan keyakinan. Perbuatan kafir dibagi menjadi beberapa tingkatan, diantaranya perbuatan kafir tetapi pelakunya tidak dihukum sebagai orang kafir, karena adanya keimanan di dalam hatinya.

58. Namun kita juga tidak mengatakan bahwa dosa itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia masih beriman.
Karena perkataan diatas termasuk keyakinan Murji'ah. Hal ini termasuk mendustakan ayat-ayat dan hadits yang memberi ancaman adzab kepada orang Islam yang berbuat dosa. Orang yang berbuat dosa akan dimasukkan ke dalam neraka, kemudian akan dikeluarkan lagi bila ada syafa'at dari Rasulullah Saw atau karena sebab yang lain.

59. Kita mengharapkan agar orang-orang yang berbuat fajir dari kalangan mukminin dapat diampuni dosa-dosa mereka dan dimasukkan Jannah karena rahmat-Nya, namun kita tidak menganggap mereka aman dari siksa-Nya.
Ibnu Mani' berkata, "Ketahuilah, yang menjadi ketetapan Ahlu Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa mereka tidak bisa memastikan seorang pun diantara kaum Muslimin masuk surga atau neraka, kecuali orang-orang yang telah mendapata jaminan dari Rasulullah Saw. Akan tetapi, Ahlu Sunnah wal Jama'ah berharap agar orang-orang yang melakukan kebaikan (mendapat surga) dan orang-orang yang melakukan kejelekan (tidak masuk neraka). Dengan adanya ketetapan diatas, kita tahu, tatkala ada seorang alim, pemimpin, atau yang lain berkata tentang seseorang, "Dia diampuni atau dia penghuni surga", allu dipahami oleh kebanyakan orang dia diampuni oleh Allah, tidak diragukan lagi atu adalah berkata atas Allah Ta'ala tanpa dasar ilmu. Mengatakan sesuatu atas nama Allah Ta'ala tanpa dasar ilmu serupa dengan tindak kesyirikan. Qs. Al A'raf: 33.
Kita yakin, orang yang meninggal dalam keadaan musyrik akan masuk neraka.
Kita mohon ampunan bagi orang-orang islam yang melakukn dosa dan kita juga mengkhawatirkan diri mereka akan tertimpa adzab. Namun kita tidak berputus asa untuk meminta ampunan Allah untuk mereka
.
60. Merasa aman dari siksa, atau putus asa dari ampunan Allah, keduanya dapat mengeluarkan dari Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya.
61. Seorang hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia imani.
Ini adalah bantahan terhadap golongan Khawarij dan Mu'tazilah yang berkeyakinan bahwa seseorang bisa keluar dari islam dengan sebab melakukan dosa besar.

62. Iman adalah [pembenaran dalam hati], pengakuan dengan lidah, dan pembuktian dengan (amalan) anggota badan.
            Perkataan diatas menjadi madzhab Imam Hanafi dan Al Maturidi. Berbeda dengan para ulama salaf dan mayoritas imam, seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi'i, Imam Ahmad Imam Auza'i, dan lainnya. Mereka menambah perkataan tersebut dengan: amalan dan perbuatan.    Akan tetapi mereka semua menyepakati bahwa pelaku dosa besar tidak otomatis keluar dari Islam, dan nasib mereka tergantung pada kehendak Allah Ta'ala, Dia adzab atau Dia ampuni. Kalau benar madzhab Hanafi sepakat dengan hal itu, dan perbedaan madzhab mereka dengan ulama salaf tidak sesungguhnya, artinya mereka masih memasukkan amal perbuatan menjadi unsur iman, semestinya mereka juga sepakat bahwa iman bisa bertambah dan bisa berkurang.

63. Seluruh yang diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berupa ajaran syari’at adalah benar adanya.
Maksudnya kita tidak boleh membeda-bedakan antara hadits ahad dengan hadits mutawatir. Sebuah hadits asalkan datang dari Rasulullah Saw merupakan kebenaran yang tidak boleh diragukan lagi. Membedakan antara hadits ahad dengan hadits mutawatir adalah perbuatan bid'ah dan merupakan pikiran filsafat.

64. Iman itu adalah satu bentuk. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya4 adalah sama. Keutamaan di antara mereka diukur dengan ketakwaan, rasa takut kepada Allah, menghindari hawa nafsu, dan melakukan sesuatu yang lebih utama.

65. Kaum mukminin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman.
Mereka adalah yang disebut oleh Allah Ta'ala dalam Qs. Yunus: 62-63.
Karamah bukanlah sesuatu yang bisa diminta dan bukan perkara ghaib yang keluar dari adat kebiasaan sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang.
Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat dan paling ittiba’ dengan ajaran Al-Qur’an.
            Ini adalah sindiran halus terhadap orang-orang yang fanatik madzhab, yang mendahulukan pendapat madzhab mereka daripada perkataan Al Qur`an dan hadits. Mengikuti madzhab tertentu tidak otomatis telah mengikuti Al Qur`an. Karena pendapat madzhab bermacam-macam, sedangkan
66. Pengertian Iman adalah: Beriman kepada Allah, para Malaikat, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir baik maupun buruk, manis maupun pahit. Dan bahwa kesemuanya berasal dari Allah.
Perlu diketahui bahwa perkataan tersebut tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw:
والخير كله بيديك, والشرّ ليس إليك.
"Kebaikan semua berasal dari Engkau, dan kejelekan tidak dinisbatkan kepada Engkau." (HR. Muslim).
Sabda Nabi Saw diatas maknanya: Engkau menciptakan kejelekan, namun mengandung berbagai hikmah. Suatu perbuatan jelek, ditilik dari adanya hikmah yang terkandung di dalamnya adalah sesuatu yang baik, meskipun dipandang oleh kebanyakan manusia sebagai sesuatu yang jelek. Jadi, jelek di sini bersifat nisbi/relatif. Adapun kejelekan yang sifatnya mutlak tidak mungkin ada pada Allah Ta'ala.

67. Kita mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.

68. Para pelaku dosa besar di kalangan umat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (bisa) masuk Naar, namun mereka tak akan kekal di dalamnya kalau mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla:
Dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48, 116).
            Syirik adalah kekafiran. Tidak ada perbedaan diantara keduanya, secara syar'i.
Dan jikalau Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di Naar dengan keadilan-Nya. Kemudian Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu
mereka pun diangkat ke Jannah-Nya. Hal itu karena Allah adalah Wali bagi siapa yang
berma’rifah kepada-Nya, maka Dia pun tidak menjadikan keadaan mereka di dunia dan di
akhirat sama seperti mereka yang tidak berma’rifah kepada-Nya. Yaitu mereka yang luput,
tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak dapat memperoleh hak kewalian-Nya. Wahai
Dzat yang menjadi Wali bagi Islam dan pemeluknya, teguhkanlah kami bersama Islam
sehingga kami datang menghadap ke haribaan-Mu.
Hadits ini sah datang daari Nabi Saw. Tercantum di dalm Kitab Ash Shahihah, no. 1823.
4 [Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam komentarnya terhadap Matan Al-Aqidah Ath-Thahahiwah menyatakan: ‘Ucapan beliau “Pemilik
keimanan itu dilihat dari asal al-imannya adalah sama” perlu diteliti lagi. Bahkan jelas kebatilannya. Justru mereka bertingkat–tingkat
dengan perbedaan yang mencolok. Iman para Rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian juga imannya
para khulafa’ur rasyidun dan para sahabat lainnya, tidaklah sama dengan generasi belakangan. Iman orang yang betul–betul beriman
juga tak sama dengan iman orang fasik. Keterpautan itu, didasari dengan perbedaan apa yang di dalam hati, berupa pengenalan
terhadap Allah, Asma’ dan Shifat-Nya dan apa–apa yang disyari’atkan bagi hamba-Nya. Itulah pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah.
Berseberangan dengan pendapat Al-Murji’ah dan yang sependapat dengan mereka, Wallahul Musta’an.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library 9

69. Kami menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang Imam, baik yang shalih maupun yang fasik dari kalangan Ahli Kiblat. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.
            Dalil dari hal ini adalah praktek para sahabat. Sabda Nabi Saw:
"Mereka shalat mengimami kalian. Bila mereka benar, maka kalian dan mereka mendapatkan pahala. Namun bila mereka salah, kalian mendapat pahala dan mereka mendapat dosa." (HR. Bukhari, Ahmad dan Abu Ya'la). Juga bisa dilihat di dalam buku Ahkamu Al Janaiz (hlm. 79).

70. Kita tak dapat memastikan mereka, masuk Jannah.
Kecuali sepuluh orang yang memang telah dijanjikan masuk surga, Abdullah bin Salam, dan lainnya. Kita berani memastikan mereka masuk surga karena Rasulullah Saw pernah menjanjikan surga untuk mereka.
Atau Naar. Kita tak bisa bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik, maupun munafik, selama semua itu tidak tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah Ta’ala.
71. Kita tidak boleh mengangkat pedang (berperang/menumpahkan darah) terhadap seorang pun dari ummat Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.
72. Kita juga tidak membolehkan memberontak terhadap pemimpin-pemimpin dan Ulul ‘Amri kita, meskipun mereka berbuat lalim.
Ibnu Abdil 'Iz menyebutkan beberapa hadits yang berkenaan dengan masalah ini. Selanjutnya dia berkata, "Kita juga wajib taat kepada mereka sekalipun mereka berbuat dzalim. Karena, memberontak atau membelot akan lebih banyak mendatangkan kerusakan dibandingkan bila kita tetap taat kepada mereka. Bahkan, kalau kita bersabar mentaati mereka akan mengahapuskan berbagai keburukan-keburukan mereka. Allah menjadikan mereka berkuasa atas kita tidak lain karena keburukan amal kita. Memang hal itu sudah merupakan bentuk sebab akibat yang lumrah. Bila demikian, usaha yang perlu kita lakukan adalah memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Ta'ala dengan usngguh-sungguh, serta memperbaiki perbuatan kita. Qs. Asy Syuraa: 30, Qs. Al An'am: 129.
Cara menghilangkan kedzaliman adalah dengan bertaubat kepada Allah Ta'ala, meluruskan akidah, mendidik diri dan keluarga dengan pendidikan Islam secara benar. Qs. Ar Ra'du: 11.
Kita tidak mendoakan kejelekan untuk mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib.
            Tetapi ini tertuju untuk penguasa Muslim. Qs. An Nisaa`: 59.
Terhadap penguasa kafir, kita wajib secara sungguh-sungguh menyiapkan diri baik moril maupun meteriil untuk mengusir mereka.
Selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka dan agar mereka dikaruniai kebaikan jasman maupun rohani.

73. Kita tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah.
            As Sunnah artinya jalan hidup Rasulullah Saw. Al Jama'ah adalah jama'ah kaum Muslimin. Mereka adalah para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti dengan baik mereka hingga hari Kiamat. Siapa yang mengikuti mereka akan mendapat petunjuk sedang yang meninggalkan mereka akan tersesat.
 Menghindari sesuatu yang aneh, perselisihan (yang didasari menyelisihi Al-Jama’ah-pent.) dan menghindari perpecahan.
Siakap ganjil disini adalah siakap ganjil terhadap sunnah dan meninggalkan jama'ah, yaitu para ulama' salaf. Tidak termasuk ganjil (syadz) memilih satu pendapat diantara pendapat yang ada dikarenakan adanya dalil yang dipeganginya, meskipun berbeda dengan pendapat jumhur. Karena, didalam Al-qur'an dan hadits tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang paling benar meskipun mereka tidak membawa dalil.
Bila kaum meuslimin telah menyepakati kebenaran perkara tertentu, wajib bagi kita untuk mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan tersebut. Berdasar firman Allah Ta;ala:
Qs. An-Nisa: 115
Adapun perkara-perkara yang masih dalam perselisihan, maka wajib bagi kita mengembalikannnya perkara tersebut kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Seseorang yang mendapatkan kebenaran dengan penuh keyakinan (setelah menelaah Al-qur'an dan hadits), silahkan mengi,uti kebenaran tersebut dan barang siapa yang belum mendapatkan kebenaran (meski telah menelaah Al-qur'a dan hadits), silahkan meminta pendapat kepada hatinya, lau pegangi pendapat haitinya itu baik pendapat yang dipeganginya itu sejalan dengan pendapat jumhur ulama' ataupun tidak. Akan tetapi saya tidak berpendapat bahwa seseorang selalu mampu menjadi jumhur ulama' dalam segala perkara yang tidak di ketahui hukumnya itu. Namun, di kali lain bebeda tergantung kemantapan hatinya. Nabi saaw bersabda: "Mintalah pendapat kepada hatimu, meskipun banyak orang yang telah memberi fatwa."

74. Kita mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan khianat.
75. Terhadap sesuatu yang masih samar ilmunya bagi kita, kita mengucapkan Allahu A’lam.
76. Kita berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian). Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.
Imam Ath Thahawi menyebutkan masalah mengusap khuf ini tanpa mengikut-sertakan pembahasan mengusap kaos kaki dan sandal. Hal ini disebabkan dua hal:
  1. Pendapat mengusap khuf diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Saw.
  2. Golongan syi'ah Rafidhah menolak disyari'atkannya khuf.
Akan tetapi, karena mutawatirnya hadits tentang mengusap khuf, pendapat golongan raafidhah ini kita lemahkan. Jadi, disebutkannya mengusap khuf saja tidak berarti menafikan adanya syari'at mengusap kaos kaki dan sandal. Masalah ini dibahas secara terperinci dalam kitab yang berjudul Al-Mashu A'la Al Jaurabain karya Al Qasimi.

77. Tidak ada sesuatu pun yang membatalkan atau menggugurka Jihad dan ibadah haji.
Jihad mempunyai dua hukum:
  1. Fardlu a'in, yaitu jihad mengusir musuh yang memerangi negeri-negeri muslim, seperti orang orang Yahudi yang menguasai negeri palistina. Kaum muslimin semua berdosa selama orang-orang Yahudi belum keluar dari Palestina.
  2. Fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang apabila ada sebaagian orang islam melakukannya, maka gugurlah kewajiban bagi orang islam yang lain. Jihad yang termasuk fardlu kifayah adalah menyebarkan dakwah islam kesegenap negeri muslim sehingga islam diterapkan di negeri-negeri tersebut.
Tidak ada sesuatupun yang membatalkan kewajiban jihad dan haji.

78. Kita mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.
79. Kita juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.
Nama malakul maut sebagai nama malaikat pencabut nyawa disebutkan dalam Al Qur`an. Adapun nama Izrail yang sudah tersebar di masyarakat luas tidak ada asalnya yang shahih. Itu adalah nama yang tersebut dalam riwayat Israiliyyat.

80. Kita pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya.
            Yaitu orang-orang kafir dan orang Islam yang fasik. Adanya adzab bagi orang kafir secara pasti tersebut dalam nash-nash Al Qur`an, sedangkan adanya adzab bagi orang-orang Islam yang fasik terdapat di dalam hadits-hadits yang derajatnya mutawatir. Karena dalil-dalil yang mendasarinya kita wajib mengimani adanya hal itu. Akan tetapi kita tidak boleh menanyakan bagaimana bentuk adzab kubur. Akal kita tidak akan mampu menjangkau bagaimana bentuk adzab kubur.
Dan juga pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir kepadanya di dalam kubur tentang Rabb dan agamanya berdasarkan riwayat-riwayat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam serta para atsar  sahabat Ridwanullahu ‘alaihim ajma’in.

81. Alam kubur adalah taman-taman Jannah atau kubangan-kubangan Naar.
Perkataan di atas merupakan penggalan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzai (II/75) dari Abu Sa'id secara marfu' dengan sanad yang dha'if.
82. Kita juga mengimani Hari Ba’ats dan balasan amal perbuatan pada hari kiamat, kita juga mengimani pendedahan (penyingkapan) amal perbuatan, hisab, pembacaan catatan amal, ganjaran baik dan siksa, shirat dan al-mizan di Hari Kiamat.
83. Jannah dan Naar adalah dua makhluk Allah yang kekal, tak akan punah dan binasa.
Perlu kita ketahui, api neraka di akhrat kelak ada dua macam: Api yang akan lenyap dan api yang akan kekal selam-lamanya. Jenis api yang pertama adalah api yang akan diperuntukkan bagi orang-orang Islam yang berdosa, sedangkan jenis api yang kedua adalah diperuntukkan bagi orang-orang kafir dan musyrik.
Sesungguhnya Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun menciptakan penghuni bagi keduanya. Barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk masuk Jannah, maka itu adalah keutamaan dari-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki-Nya untuk masuk Naar, maka itu adalah keadilan dari-Nya. Masing-masing akan beramal sesuai dengan apa yang menjadi ketetapan dari-Nya.
Ini berdasarkan sabda Nabi Saw:
"Allah telah menetapkan bagi para hamba-Nya lima perkara: ajalnya, sezekinya, amalnya, tempat kembalinya, dan nasibnya celaka atau bahagia."
Dan akan kembali kepada apa yang menjadi kodratnya(surga atau neraka).

84. Kebaikan dan keburukan seluruhnya telah ditetapkan atas hamba-hamba-Nya.
85. Kemampuan, yang dengan wujudnya datang kewajiban amal adalah semacam taufik yang bukan merupakan kriteria mahkluk. Adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, adalah persiapan sebelum melakukan amalan. Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah:
Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya.“ (QS. Al-Baqarah: 286).
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang-orang dari golonagan kami dan lainnya membahas apakah kemampuan seseorang ada saat dia melakukan perbuatan ataukah sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Tentang hal tersebut ada dua pendapat yang saling bertentanan. Sebagian berpendapat bahwa kemampuan seseorang ada saat dia melakukan perbuatan saja. Pendapat ini banyak dianut oleh para Ahli Kalam dari golongan Asy'ariyyah yang menetapkan adanya kehndak pada diri manusia dan orang-orang yang sepaham dengan mereka, termasuk orang-orang dari golongan kami. Sebagian yang lain berpendapat bahwa kemampuan seseorang ada sebelum dia melakukan perbuatan. Pendapat ini banyak dianut oleh orang-orang yang menolak adanya kehendak pada diri manusia dari golongan Mu'yazilah dan Syi'ah. Golongan pertama berpendapat bahwa kemampuan seseorang tertuju untuk satu persatu perbuatan dan tidak terpisahkan dengan perbuatan-perbuatan tersebut. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa kemampuan seseorang hanya ada untuk memilih dua hal yang berlawanan, tidak berpengaruh terhadap hasil perbuatan seseorang. Golongan Qadariyah paling buruk penimpangannya, karena mereka menolak pendapat bahwa kehendak Allah berpengaruh terhadap hasil perbuatan seseorang. Yang benar, menurut Al Qur`an dan hadits adalah bahwa kemampuan seseorang ada sebelum melakukan perbuatan dan juga berkaitan erat dengan perbuatan tersebut. Disamping kemampuan tersebut ada kemampuan lain yang digunakan memilah perbuatan lain yang tidak dilakukannya. Jadi, kemampuan manusia ada dua. Pertama, kemampuan untuk memilih diantara dua perbuatan yang berlawanan. Kedua, kemampuan melakukan perbuatan yangbtelah dipilihnya. Kemampuan pertama untuk memilih perbuatan yang akan dilakukam, sedangkan kemampuan kedua untuk merealisasikan perbuatan yang telah dipilihnya."
Sebagai kesimpulan dari pembicaraan kita sebagai berikut:
  1. Kemampuan jenis pertama adalah kemampuan syar'iyyah. Ini berkaitan dengan masalah perintah, larangan, pahala dan siksa. Qs. Ali Imran: 97.
  2. kemapuan jenis kedua adalah kemampuan kauniyah. Kemapuan jenis ini berkaitan dengan masalah qadha dan qadar. Dengan kemampuan jenis ini manusia mampu mewujudkan sebuah perbuatan.
  3. kemampuan jenis pertama berkaitan dengan ketentuan syar'i, sedangkan kemapuan kedua berkaitan dengan ayat-ayat yang menceritakan keadaan makhluk Allah.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehendak seseorang yang menyelisihi kebenaran. Yang jelas, perlu kita ketahui bahwa seseorang memiliki kemampuan dan kehendak untuk menentukan pilihan syari'at sebelum dia melakukan suatu perbuatan. Dan perlu kita juga bahwa Allah Ta'ala pun mampu melakukan sesuatu yang menyelisihi kebenaran. Sebab, bila tidak begitu berarti Allah hanya mampu melakukan apa yang Dia lakukan saja.

86. Amal perbuatan hamba adalah makhluk Allah, namun juga hasil usaha hamba itu sendiri.
87. Allah hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Dan mereka pun memang tidak akan mampu melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka.
            Maksudnya mereka tidak akan mampu melaksanakan sesuatu kecuali apa yang telah Allah tentukan untuk mereka. Dan kemampuan manusia yanng dimaksud disini adalah kemampuan jenis pertama, bukan kemampuan bentuk kedua, yaitu dari sisi kesehatan, kesempatan, kekuatan dan normalnya organ-organ tubuh. Akan tetapi, perkataan Imam Ath Thahawi di atas mengandung kerancuan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abdil 'Iz, sesungguhnya pemberian beban pada ayat ini yang didimakaksud adalah Allah mengmberikan perintah dan larangan. Imam At Thahawi mengatakan, "Allah tidak akan membebani manusoia melainkan menurut kadar kemampuan mereka, dan merekapun tidaka akan mampu melaksanakan melainkan sebatas apa yang telah Allah bebankan kepada mereka." Kedua perkataan tersebut maknanya sama saja. Itu tidak benar karena sebenarnya manusia mempunyai kemampuan diatas beban yang Allah pikulkan kepada mereka. Akan tetapi, Allah bermaksud memberikan kemudahan dan keringanan kepada mereka. Qs. Al Baqarah: 185 Qs. An Nisa': 28 Qs. Al Hajj: 78
Kalaupun Allah menambah beban yang telah Dia bebankan kepada kita sebenarnya kita mampu memikulnya. Akan tetapi, karena kasih sayang Allah dan perhaatian Aaallah kepada kita mka Allah meringankan beban tersebut. Dia tidak menjadikan kesempitan kepada kita dalam menjalanklan agama." Jadi, kemampuan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kemampuamn yang erat hubungannya dengan taufiq Allah, bukan kemampuan yang berupa kekuatan dan normalnya anggota badan.
Itulah pengertian kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tiada jalan bagi seorang hamba dan tidak pula ia memiliki kebebasan beraktivitas, dan beranjak meninggalkan maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Dan seorang pun tidak memiliki kekuatan untuk melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah,
melainkan dengan taufik-Nya.

88. Segala sesuatu berlaku menurut kehendak, ilmu, keputusan dan takdir-Nya. Dia berbuat sekehendak-Nya, namun tidaklah sekali-kali Dia mendzalimi hamba-Nya.
Ibnu Abdil Iz berkata, "Dalil-dalil Al qur'an yang menyebutkan bahwa Allah tidak akan berbuat dzalim terhadap hamba-hambanya itu menjadi penengah antara pendapat golongan Qadariyah dan golongan Jabariyah. Jadi, setiap bentuk kedzaliman dan kejahatan bani Adam bukanlah merupakan kedhaliman dan kejahatan dari Allah sebagaimana yang ditujukan oleh Qadariyah, Mu'tazilah dan para pengikutnya. Kedzaliman bukanlah ungkapan untuk sesuatu yang tidak mampu yang dilakukan Allah, sebagaiman yang dinyatakan sebagian ahli kalam dan lainya. Mereka menyatakan bahwa saatu hal yang mustahil, sesuatu yang mampu dilakukan Allah adalah kedzaliman. Segala yang mungkin dilakukan-Nya, merupakan keadilan yang berasal dari-Nya. Karena kedzaliman itu hanya akna muncul dari hambanya yang diperintah dan yang dilarang. Sedan Allah tidaklah demikian. Qs. Thaaha: 112 Qs. Qaaf: 29 Qs. Az Zuhruf: 76 Qs. Kahfi: 49 Ghafir: 17
Sabda Rasulullah dalam hadit qudsy: "Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kedzaliman atas diriku, dan Aku juka menjadikan kedzaliman sebagai sesuatu yang harram dilakukan oleh kalian. Oleh karena itu, janganlah kalian salaing mendzalimi." 
Hal diatas menunjukan dua hal:
1.      Allah mengharamkan kedzaiman terhadap diri-Nya
2.      Allah menghabarkan bahwa Dia mengaharakan kedzaliman terhadap diri-Nya dibarengai menyebutkan bahwa Dia mewajibkan atas diri-Nya sifat rahmat. Ini mematahkan hujjah mereka bahwa kedzaliman itu hanya berasal dari yang diperintah dan yang dilarang, sedangkan Allah tidak demikian.
Selanjutnya kita katakan kepada mereka, "Allah mewajibkan atas diri-Nya sifat rahmat kepada para hamba-Nya dan mengharamkan diri-Nya berlaku dzalim kepada mereka. Sesungguhnya Allah hanya mewajibkan dan mengharamkan atas diri-Nya sesuatu yang mampu Dia mampu lakukan, bukan sesuatu yang mustahil Dia lakukan."
Dia bersih dari segala keburukan dan kebinasaan, dan suci dari segala aib dan kejelekan Allah berfirman:“Tidaklah Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang (apa yang mereka perbuat).” (QS. Al-Anbiyaa’: 23).

89. Do’a dan sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.
Ibnu Abil 'Iz mengatakan, Ahlu Sunnah sepakat dengan perkataan ini. Akan tetapi beliau mengingatkan tentang masalah shadaqah bahwa yang bisa bermanfaat adalah shadaqah seorang anak untuk orang tuanya saja.

90. Allah Ta’ala mengabulkan segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library11
91. Dia-lah yang memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejappun (hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejappun, dia telah kafir dan termasuk orang yang binasa.
92. Allah Subahanahu wa Ta’ala juga Murka dan Ridhla, namun tidak menyerupai satupun dari makhluk-Nya.
            Perkataan ini merupakan bantahan terhadap tukang takwil dan tukang merubah ayat-ayat Allah dari golongan Asy'ariyyah dan lainnya yang berpendapat bahwa marah dan ridha Allah maksudnya adalah kehendak untuk membaikkan makhluk-Nya. Mengapa mereka tidak mau menerima sifat marah dan ridha ada pada diri Allah dan menakwilkannya dengan sifat kehendak, padahal sifat kehendak juga merupakan salah satu sifat makhluk? Mengapa mereka tidak mau mengatakan bahwa sifat marah dan ridha Allah berbeda dengan marah dan ridha makhluk-Nya sebagaimana mereka bisa mengatakan bahwa sifat kehendak Allah berbeda dengan sifat kehendak makhluk-Nya?

93. Kita mencintai para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya.
Maksudnya, kita tidak melampaui batas dalam mencintai mereka. Misalnya kita beranggapan bahwa mereka terjaga dari kesalahan sebagaimana keyakinan orang-orang Syi'ah terhadap Ali ra dan Imam-imam mereka.
Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka.
Sikap kita tidak seperti sikap golongan Syi'ah. Mereka berkeyakinan, kita tidak dikatakan mencintai seseorang sebelum kita membenci orang lain selain orang tersebut. Maksud mereka, kita baru dikatakan mencintai Ahlu bait bila kita membenci Abu bakar dan Umar.
Ahlu Sunnah wal Jama'aj cinta dan loyal kepada seluruh sahabat Nabi Saw. Dan kita menempatkan mereka pada tempatnya dengan adil dan bijaksana.
Kita membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa yang menyebutkan mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka adalah pengamalan ad-dien (agama), keimanan, dan ihsan. Sementara membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.

94. Kita mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang pertama adalah Abu Bakr As-Shiddiq radliyallahu 'anhu sebagai sikap mengutamakan dan mengunggulkan dirinya atas semua umat Islam. Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab radliyallahu 'anhu. Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan radliyallahu 'anhu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu.Merekalah yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Barangsiapa yang membantah sahnya kekhalifahan salah satu diantara mereka, maka dia sesat yang kesesatannya melebihi keledai." (Majmu' Fatawaa III/153)

95. Sepuluh orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni Jannah, kita akui sebagai penghuni Jannah berdasarkan persaksian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan perkataan beliau yang benar. Mereka adalah: Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubeir [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah --orang tepercaya umat ini-- radliyallahu 'anhum.

96. Barangsiapa yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, istri-istri beliau yang bersih dari segala noda, serta anak cucu beliau yang suci dari segala najis, maka orang itu telah selamat dari kemunafikan.

97. Para ‘ulama As-Salaf terdahulu [para sahabat-pent.] dan yang sesudah mereka dari kalangan Tabi’in adalah pelaku kebaikan dan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul. Mereka semuanya harus disebutkan kebaikannya. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di atas jalan mereka (para sahabat).

98. Kita tidak mengutamakan salah seorangpun di antara para wali Allah di atas seorang Nabi ‘Alaihi As-Sallam. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama dibanding seluruh para wali.

Ibnu Abil 'Iz berkata, "Dengan perkataan tersebut, Imam Ath Thahawi secara halus membantah golongan penganut Wihdatul Wujud dan para penganut ajaran tasawuf. Memang, kalau tidak seperti di atas, berarti orang-orang yang istiqamah dengan agamanya tidak mengikuti ilmu dan syari'at. Padahal Allah telah mewajibkan seluruh makhluk-Nya untuk mengikuti para Rasul. Allah berfirman,
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$#
"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah." (Qs. An Nisaa`: 64).
            Banyak orang seperti mereka beranggapan bahwa dengan ibadah yang sungguh-sungguh dan membersihkan hati, mereka akan mampu menyamai para Nabi. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang beranggapan telah mampu melebihi derajat para Nabi.
            Sebagian dari mereka mengatakan, "Sesungguhnya para Nabi dan para Rasul mengambil ilmu tentang Allah dari 'lobang cincin para wali' dan akulah cincin para wali tersebut!"
            Perkataan tersebut hakekatnya sesat seperti sesatnya perkataan Fir'aun. Karena perkataan tersebut mengklaim bahwa segala yang ada ini terjadi dengan sendirinya, tanpa ada yang menciptakannya. Akan tetapi, mereka yang mengatakan parkataan tersebut masih beriman dengan perkataan Allah. Sedangkan Fir'aun secara terang-terangan mengingkari adanya Allah, meskipun dalam hatinya sebenarnya dia lebih tahu tentang Allah daripada mereka. Dia menetapkan adanya pencipta alam semesta. Sedangkan mereka menganggap segala yang ada di alam ini pada hakekatnya makhluk dan sekaligus penciptanya. Anggapan ini dipegangi oleh Ibnu 'Arabi dan orang-orang yang sealiran dengannya. Ibnu 'Arabi, tatkala syariat tidak mampu merubah dirinya, menurut anggapan sesatnya, dia berkata, "Kenabian telah berhenti, tetapi kewalian tidak akan pernah berhenti." Dia beranggapan bahwa kewalian lebih agung daripada kenabian dan keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Dia juga beranggapan bahwa para Nabi mengambil manfaat dari para wali.

99. Kita mengimani adanya karomah-karomah mereka dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari para perawi yang tepercaya.
            Sangat tepat jika Imam Ath Thahawi memberi batasan dan segala riwayat yang shahih tentang (karamah) mereka yang dinukil dari para periwayat yang terpercaya. Karena, banyak orang, lebih-lebih orang belakangan ini membawakan riwayat tentang karamah para wali secara berlebih-lebihan. Dalam riwayat-riwayat yang mereka bawakan banyak mengandung kebatilan-kebatilan yang tidak masuk akal, bahkan terkadang terjebak ke dalam tindakan syirik akbar.
            Kitab Thabaqat Auliya` karya Asy Sya'rani salah satu kitab yang banyak membawakan cerita-cerita batil seperti itu. Dalam kitab tersebut terdapat perkataan salah satu wali mereka, katanya, "Saya pernah berkata terhadap suatu perkara, 'Jadilah!' ternyata jadilah perkara tersebut selam dua puluh tahun menjadi adzab terhadap Allah." Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang dzalim seperti itu.
            Kita bisa mendapatkan beberapa karamah yang benar dari beberapa sahabat dalam kitab Riyadhush Shalihin karya Imam An Nawawi.

100. Kita juga mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat berupa keluarnya Ad-Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis Sallam dari langit.
Hadits-hadits yang berkenaan dengan dua tanda kiamat di atas derajat Mutawatir.
Kita juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Daabbah [salah satu tanda kiamat yaitu binatang yang dapat berbicara seperti manusia-pent.] dari kediamannya.
101. Kita tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum muslimin.
102. Kita meyakini bahwa Al-Jama’ah adalah haq dan kebenaran, sementara Al-Furqah (berpecah belah) adalah penyimpangan dan siksaan.
Jama'ah ialah golongan yang Rasulullah saw dan para sahabatnya terdapat di dalamnya. Jama'ah adalah Firqatun Najiyah (golongan yang selamat), yang di dalamnya terkumpul para ahli hadits dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka yang mengikuti madzhab-madzhab maupun tidak.

103. Ad-Dien (agama) Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu dienul Islam, Allah berfirman:
Sesungguhnya agama (yang diridhlai) di sisi Allah hanyalah Al-Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 19). Dia juga berfirman:
Dan telah Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3).
            Ibnu Abil 'Iz berkata, "Agama Islam adalah agama yang telah disyari'atkan oleh Allah Ta'ala kepada para hamba-Nya lewat lisan para rasul-Nya. Pokok agama ini, cabang-cabangnya, dan riwayat-riwayatnya disampaiakn oleh para rasul.
            Al Qur`an dan hadits telah menerangkan bahwa agama Islam adalah agama yang unggul dari agama lainnya dan mudah dipelajari.
            Barangsiapa yang membuat syari'at baru yang tida ada izin dari Allah, padahal kita tahu bahwa sumber syari'at adalah Allah, maka syari'at tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Saw atau kepada rasul yang lainnya. Karena itu adalah batil.

104. Dan Islam itu berada di antara sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan, antara menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk dan menafikkan (meniadakan) sifat-sifat itu, antara Jabriyah (kaum yang bersandar kepada takdir saja) dan Al-Qadariyah (kaum yang menolak takdir), dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus asa dari rahmat Allah.

105. Inilah agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri --dengan kembali kepada Allah-- dari setiap yang menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan, dan menyerahkan mereka sepenuhnya kepada Allah ta'ala.

Kita memohon kepada Allah untuk menetapkan diri kita di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam, dan dari pendapat-pendapat yang beraneka ragam, dan mahdzab-mahdzab yang sesat, seperti: Mu’tazilah, Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah, Al-Qadariyyah, dan lain-lain, dari kalangan mereka yang menyelisihi As Sunnah wa Al-Jama’ah dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan mereka menurut kita adalah orang-orang sesat dan jahat. Wa billahi Al-‘Ishmatu wa At-Taufiq.


Al Hamdulillah, dengan izin Allah Ta'ala ringaksan ini selesai pada tanggal 20 Januari 2006.
Copyleft © 2001 www.perpustakaan-islam.com - Islamic Digital Library 4


[1]  Mukaddimah ini dikutip dari matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah dengan syarah dan komentar Syaikh Al-Albany.

0 komentar: