Ahlan Wa Sahlan Bikum




"ASSALAMUALAIKUM, AHLAN WA SAHLAN"

Jumat

Penjelasan Aqidah ath –Thahawiyah





Oleh : Handaris Sholihin
Matan ke 67 – 72.[1]
67 - وَنَحْنُ مُؤْمِنُونَ بِذَلِكَ كُلِّهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَى مَا جاؤوا به

Artinya “Dan kita beriman kepada itu semua, kita tidak membedakan seorang pun dari para RasulNya, dan kita wajib membenarkan mereka semua atas apa yang mereka bawa”.
Matan ini diawali dengan penegasan bahwa pilar iman atau
rukun iman yang enam menurut Ahlussunnah wal Jamaah adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada para rasul, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir. Kemudian Abu Ja’far ath-Thahawi melanjutkannya dengan pembahasan iman kepada para rasul.
            Wajib beriman kepada semua ini, dan jika seorang mengingkari sesuatu dari rukun- rukun tersebut, maka dia bukanlah seorang Mukmin, karna dia telah mengurangi salah satu dari rukun iman.
            Yaitu beriman kepada para Rasul dari yang pertama sampai terakhir, baik yang Allah sebutkan dalam al –Qur’an maupun  tidak. Maka kita beriman kepada para Rasul yang telah diutus kepada hambaNya. Barangsiapa yang beriman kepada sebagian mereka dan kafir kepada sebagian yang lain, maka dia kafir kepada semuanya, sekalipun dia hanya mengingkari seorang nabi saja, maka dia telah menjadi kafir kepada semua nabi. Berdasarkan firmanNya :
                Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.[2]

                Berdasarkan ini, maka orang – orang Yahudi adalah orang – orang kafir, karna mereka kafir kepada dua orang nabi, mereka kafir terhadap Nabi Isa dan Nabi Muhammad Saw. demikian pula orang – orang Nasrani, mereka juga kafir. Karna mereka juga mengingkari kerasulan Nabi Muhammad. Jadi tidak akan diterima disisi Allah melainkan agama islam.
                Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
            Islam telah menghapus (mengganti) agama sebelumnya, dan memerintahkan bangsa Jin dan Manusia, Yahudi dan Nasroni, orang – orang yang tidak bisa membaca dan menulis, bangsa arab maupun bangsa non arab, semuanya diperintahkan untuk  mengikuti Nabi Muhammad Saw. sehingga tidak ada Iman kecuali dengan mengikuti Rasul ini.[3]
            Kafir kepada satu sama dengan kafir kepada semua
Allah telah menegaskan bahwa kafir kepada seorang rasul sama dengan kafir kepada seluruh rasul. Allah berfirman,
Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.”(QS. asy-Syu’ara`: 105)
Kaum ‘Ad telah mendustakan para rasul.” (QS. asy-Syu’ara`: 123)
Kaum Tsamud telah mendustakan para rasul.” (QS. asy-Syu’ara`: 141)
Kaum Luth telah mendustakan para rasul.” (QS. asy-Syu’ara`: 160)
Sudah dimaklumi oleh semua muslim bahwa kaum-kaum yang disebut dalam ayat-ayat di atas hanya kafir kepada seorang rasul. Rasul yang diutus oleh Allah kepada masing-masing mereka. Namun, Allah menyebut mereka sebagai orang-orang yang kafir kepada semua rasul. Yang demikian itu karena ajaran yang dibawa oleh semua rasul itu sama, yang mengutus mereka pun sama.
Selain secara tegas menyebut bahwa orang yang kafir kepada seorang rasul sebagai orang yang kafir kepada semua rasul, sebenarnya Allah telah memerintahkan kita untuk beriman kepada para rasul dan tidak membeda-bedakan antara mereka.
Katakanlah (hai orang-orang yang beriman), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Ruhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’ Maka jika mereka beriman kepada apa yang telah kamu imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dia-lah yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”[4]
Allah juga memuji dan menyediakan pahala bagi orang-orang yang beriman kepada semua rasul, tidak kafir kepada yang sebagian.
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”[5]
Makna larangan Nabi
Demikianlah, yang dimaksud dengan ungkapan tidak membedakan antara para rasul adalah hanya beriman kepada sebagian rasul. Oleh karena itulah orang-orang Yahudi yang beriman kepada Nabi Musa AS dan orang-orang Nasrani yang beriman kepada Nabi ‘Isa AS menjadi kafir lantaran tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah saw pernah bersabda yang artinya, “Janganlah kalian mengutamakanku di atas para nabi[6]!
Apabila hadits di atas dipahami secara tekstual, akan hadirlah makna yang salah. Sebab dalam banyak ayat Allah telah mengutamakan beliau—dan beberapa nabi—di atas para nabi yang lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah mensyarah hadits di atas sebagai berikut:
“Mengenai larangan beliau untuk membeda-bedakan keutamaan para nabi, para ulama berkata, ‘Larangan itu berlaku untuk yang mengatakannya dengan pendapat pribadi, tidak berlandaskan dalil. Atau untuk orang yang mengatakannya sehingga menimbulkan penistaan terhadap yang dibandingkan, atau apabila pembedaan itu mengakibatkan percekcokan danperselisihan, atau maksudnya adalah, ‘Jangan kalian mengutamakan dengan segala keutamaan sehingga tidak ada lagi keutamaan yang dimiliki oleh yang dibandingkan!’[7]
Ragam keutamaan para Rasul
Pembedaan antara para rasul telah dilakukan oleh Allah. Maksud pembedaan di sini adalah bahwa Allah membedakan keutamaan di antara mereka.
Sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain).”[8]
Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat ia dengan Ruhul Qudus.”[9]
Termasuk pengutamaan juga, Allah menyebut beberapa rasul sebagai rasul ulul azmi, mengistimewakan Nuh AS sebagai rasul pertama dan menggelarinya dengan sebutan ‘abdan syakura (hamba yang amat bersyukur), mengistimewakan Ibrahim AS sebagai khalil-Nya (kekasih sejati-Nya) dan menyebutnya sebagai imam, serta mengistimewakan ‘Isa AS dengan kelahirannya yang tanpa ayah dan ia adalah kalimat yang ditetapkan Allah kepada ibunya, Maryam.
Ribuan nabi ratusan rasul satu ajaran
Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa jumlah Nabi dan Rasul tidak hanya 25. Ada ratusan rasul dan ribuan nabi. Abu Dzar RA pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Berapakah jumlah para nabi?” Beliau menjawab, “124.000 orang; di antara mereka ada 315 rasul, jumlah yang banyak.”[10]
Ajaran semua nabi dan rasul adalah Islam. Islam bukan nama ajaran satu nabi tertentu, tetapi ia adalah nama yang sama-sama dimiliki oleh ajaran semua nabi dan rasul.
Ibrahim berkata, “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam!”[11]
Musa berkata, “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah hanya kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang Islam.”[12]
Tentang Hawariyun, Allah berfirman, “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail), ia berkata, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para Hawariyin (sahabat-sahabat setianya) menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam.”[13]
68 - وَأَهْلُ الْكَبَائِرِ [مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ] في النار لا يُخَلَّدُونَ إِذَا مَاتُوا وَهُمْ مُوَحِّدُونَ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا تَائِبِينَ بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللَّهَ عَارِفِينَ [مؤمنين] وَهُمْ فِي مَشِيئَتِهِ وَحُكْمِهِ إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ وَعَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِهِ كَمَا ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ: (وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ) [النِّسَاءِ: 48 و 116] وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ فِي النَّارِ بِعَدْلِهِ ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِهِ وَشَفَاعَةِ الشَّافِعِينَ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِهِ ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَى جَنَّتِهِ وَذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَوَلَّى أهل معرفته وَلَمْ يَجْعَلْهُمْ فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نَكَرَتِهِ الَّذِينَ خَابُوا مِنْ هِدَايَتِهِ وَلَمْ يَنَالُوا مِنْ وِلَايَتِهِ اللَّهُمَّ يَا وَلِيَّ الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ ثَبِّتْنَا عَلَى الإسلام حتى نلقاك به
            Artinya “Para pelaku dosa – dosa besar dari umat Nabi Muhammad Saw masuk neraka, tetapi tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan tauhid. Jika mereka tidak bertaubat , setelah ( nanti) mereka bertemu Allah sebagai orang – orag  yang mengetahui lagi beriman, dimana mereka berada di bawah kehendak ( masi’ah) dan ketentuan hukumNya, maka jika Allah menghendaki, Dia bisa mengampuni mereka dengan karuniaNya, sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam KitabNya,” ... Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari ( Syirik) itu bagi siapa yang dikehendakiNya.” ( An – Nisa :48). Dan jika Dia menghendaki, Dia (bisa) mengazab mereka di dalam neraka dengan keadilanNya. Kemudian Allah mengeluarkan mereka darinya dengan rahmatNya dan syafa’at para pemberi syafa’at dari orang – orang yang ta’at kepadaNya. Kemudian Allah akan mengirim  mereka ke surgaNya.hal ini karna Allah mencintai orang – orang yang beriman terhadapNya (yaitu orang – orang  yang beriman kepadaNya), dan tidak menjadikan mereka di dunia dan akhirat(sama) seperti orang – orang yang  ingkar kepadaNya, yaitu orang – orang yang gagal mendapatkan hidayahNya, dan tidak dapat meraih kecintaanNya. Ya Allah, Wali ( pembela) Islam dan orang – orang yang memeluknya, teguhkan kami atas Islam sehingga kami bertemu Engkau dengannya.
            Dosa – dosa besar adalah  dosa – dosa selain Syirik tetapi diatas dosa – dosa kecil. Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah setiap dosa yang harus ditegakkan hukuman (had) atas pelakunya, atau mendapatkan ancaman murka, atau laknat Allah, atau neraka, atau Rasul anti terhadap orang – orang yang melakukannya. Inilah dosa besar[14],seperti misalnya sabda Nabi :
من غشنا فليس منا
“ barangsiapa yang menipu kami maka dia bukan dari kami.”[15]
Juga sabda Nabi :
من حمل علينا السلاح فليس منا
“ barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia buka dari kami.”[16]
            Semua point prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa besangkutan adalah dosa besar, akan tetapi dibawah syirik. Pelaku dosa – dosa besar tersebut tidak keluar dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin yang kurang Imannya, atau juga bisa dinamakan sebagai orang fasik, inilah pandangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah, mereka tidak mengkafirkan seorang muslim karna dosa – dosa besar, selama itu bukan syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan pelaku dosa – dosa besar nama Iman secara Mutlak. Mereka memberikan keapdanya Iman yang diberi batasan, sehingga dikatakan, “ Dia Mukmin dengan Imannya, tetapi fasik dengan dosa besar yang dilakukannya.
            Maka tidak dikatakan bahwa orang  semacam itu adalah seorang Mukmin dengan keimanan sempurna, sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Murji’ah. Tapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah.
            Jika demikian, maka ada tiga kelompok manusia berkaitan dengan seseorang Muslim yang melakukan dosa besar.
            Pertama, khawarij dan Mu’tazilah, yang mengeluarkan pelaku dosa besar tersebut dari islam, hanya saja, khawarij memasukkannya kedalam golongan orang – orang kafir,sedangkan Mu’tazilah tidak. Mereka mengatakan pelaku dosa besar berada pada kedudukan di antara dua kedudukan (iman dan kufur), akan tetapi mereka mengeluarkannya dari islam.
            Kedua, Murjiah, yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah seorang Mukmin yang beriman sempurna, selama dia meyakini di dalam hatinya, menurut pendapat mayoritas mereka, dan mengucapkan dengan lisannya, menurut pendapat sebagian mereka. Yang jelas dalam pandangan mereka, dia adalah Mukmin dengan Iman yang sempurna, dan segala perbuatan maksiat yang dilakukannya sama sekali tidak mengurangi Imannya.sekalipun dosa – dosa besar. Ini juga suatu kesesatan.
            Ketiga, Ahlu Sunnah wal Jamaah, ialah pandangan yang Haq, yang perpandangan bahwa pelakku dosa besar selain Syirik adalah tetap seorang Mukmin,bukan kafit, akan tetapi dia adalah seorang mukmin yang kurang Imannya. Ini wajib diketahui, dan wajib tertanam mantap di dalam akal anda.
69. - وَنَرَى الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِنْ أهل القبلة وعلى من مات منهم
                Artinya “Kami juga berpandangan bahwa  shalat (boleh) di laksanakan di belakang setiap (imam) yang sholih maupun yang pendosa dari Ahlul Kiblah (kaum muslimin), juga (boleh mensholatkan yang shalih dan yang pendosa) yang meninggal dunia diantara mereka.
Disini ada dua permasalah :
            Perama, bahwasannya shalat adalah amal dan perbuatan baik. Jika seorang melaksanakanya khususnya para pemimpin, maka mereka telah melaksanakan kebajikan dan kebaikan. Meninggalkan dan menolak shalat di belaakng mereka mengandung bahaya besar,berupa memecah persatuan dan menimbulkan perselisihan pendapat di tengah kaum muslimin, bahkan pertumpahan darah. Ini adalah bahaya besar, yang wajib dihindari. Sebagaimana Nabi bersabda :
 shalatlah kalian di belakang orang yang mengucapkan,’ Tidak ada tuhan yang berrhaq disembah kexuali Allah,’ dan shalatkanlah jenazah orang yang mengucapkan,’ Tidak ada tuhan yang berrhaq disembah kexuali Allah,’[17]
                   Pandangan Ahlu sunnah adalah pemimpin yang menunaikan shalat jum’at dan shalat berjama’ah, dan juga berjihad di belakang di setipa pemimpin, yang shalih maupun pendosa, selama pemimpin itu itu tidak keluar dari islam. Ini adalah merupakan ijma.
                        Kedua, menshalatkan jenazah seorang Muslim sekalipun seorang yang fasik, selama dia tidak keluar dari islam. Karena dia tetap seorang muslim yang memiliki hak sama dengan semua kaum Muslimin. Sedangkan apabila telah keluar dari islam maka dia tidak mendapatkan hak itu. Hanya saja tidak setiap muslim menghukumi orang murtad, yang berhak menghukumi adalah para ulama dan harus kembali pada kaidah – kaidah yang telah dirumuskan oleh Ahlu sunnah.
Shalat di belakang orang yang baik atau yang jelek dari Ahlul kiblat.
Ada sebuah hadits :" صلوا خلف كل بر و فاجر" hadis ini dhoif karena munqhoti  (Makhul tidak bertemu dengan Abu Hurairah).  Ibnu Umar dan Malik bin Anas pernah shalat dibelakang Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi padahal ia adalah orang yang fasik lagi dhalim.
Barang siapa yang menampakkan kebid'ahannya atau kemaksiatannya maka ia tidak berhak menjadi iman bagi kaum muslimin. Maka ia berhak mendapat ta'zir ( hukuman ) sampai bertaubat. Adapun jika memungkinkan jika memungkinkan shalat jum'ah dan jama'ah di belakang orang yang baik, maka ini lebih baik. Dan apabila shalat di belakang orang yang fajir tanpa ada alasan, maka terdapat ijtihad ulama' ada yang mengatakan : ia mengulangi shalatnya, dan masalah ini dijabarkan didalam kitab furu' ( fikih ).[18]
Tapi apabila lupa atau salah, dan makmun tidak tahu keadaaannya, maka makmun tidak mengulangi shalatnya seperti Umar menjadi imam padahal ia junub dan lupa.
Imam shalat, Hakim, komandan perang itu di taati dalam masalah ijtihad. Karena kemaslahatan jama'ah dan persatuan serta kerusakan perpecahan dan perselisihan itu merupakan permasalahan yang sangat besar dari permasalah juz'iyah ( individu).
Orang yang mati baik dari orang yang baik maupun dari orang yang fajir itu di shalati.(kecuali syahid). Karena orang yang menampakkan Islam ada dua : adakalanya mukmin dan adakalanya munafik, maka jika di ketahui kemunafikannya maka tidak dishalati dan dimintakan ampun, dan jika tidak diketahui maka dishalati. Dan apabila seseorang mengetahui kemunafikan seseorang maka ia tidak menshalatinya.  Dan yang lainnya menshalti (yang tidak mengetahui kemunafikannnya ).
Kita tidak meyaksikan pada seseorang tertentu bahwa ia adalah penghuni neraka atau jannah, kecuali orang-orang yang telah Rasul khabarkan bahwa ia dari penghuni jannah seperti sepuluh sahabat yang diberi khabar gembira jannah ( Al 'Asyroh Al Mubasysyariina bil jannah ). 
Dan Ulama' salaf dalam memberikan kesaksian dengan jannah ( masuk seseorang kedalam jannah ) ada tiga pendapat :
ü  Tidak menyaksikan terhadap seseorang kecuali bagi para nabi-nabi. Ini pendapat Muhammad bin Al Hanafiyyah, Al Auza'i.
ü  Disaksiakn dengan jannah setiap mukmin yang diterangkan oleh nash. Kebanyakan ulam' dan ahlul hadits.
ü  Disaksikan dengan jannah bagi mereka dan bagi orang yang disaksikan oleh orang-orang mukmin, seperti tatkala jenazah maka sahabat memujinya dan Rasul besabda  : wajabat. samapai tiga kali.[19]
Kita diperintah untuk menghukumi dengan yang nampak dan melarang kita untuk mengikuti prasangka. Jadi kita tidak menyaksikan dengan kekufuran, syirik, atau nifak selagi tidak nampak bagi mereka perbuatan itu, dan kita menyerahkan bathinnya kepada Allah swt. Qs Al Hujurat : 11.
Wajib taat kepada pemimpin meskipun menyimpang kecuali dalam kemaksiatan. Qs An Nisa' : 59. sabda Nabi :
70. - وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّةً وَلَا نَارًا ولا نشهد عليهم بكفر ولا بشرك وَلَا بِنِفَاقٍ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
           
            Dan  kami tidak memastikan tempat seseorang dari mereka di surga ataupun di neraka. Dan kami juga tidak mempersaksikan atas diri mereka dengan kekufuran, syirik ataupun kemunafikan, selama hal itu tidak tampak pada diri mereka. Dan kami menyerahkan rahasia – rahasia (hal – hal yang tiak terlihat) pada diri mereka kepada Allah.

            Kita tidak mempersaksikan bagi seseorang, setinggi apapun dia telah mencapai derajat keshalihan dan taqwa, tidak boleh mempersaksikan baginya dengan surga, karna kita tidak mengetahui hal – hal yang ghaib. Juga kita tidak boleh menghukumi seseorang dengan neraka, sebanyak apa pun dia melakukan perbuatan maksiat, karna kita tidak tahu dengan apa hidupnya akan ditutupi dan dalam hal keadaan apa dia akan mati.
Sebagaimana Nabi bersabda :
إنماالأعمال بخواتيمها
“ Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung penutupnya.
            Juga sabda Nabi yang terdapat didalam hadist arbain An Nawawi, yang menerangkan tahapan penciptaan manusia dan garis takdirnya.[20]
            Pada dasarnya yang ada pada diri seorang muslim adalah adil (lurus). Ini adalah perinsip dasar yang besar, maka kita tidak boleh berburuk sangka padanya dan tidak boleh mencari-cari keburukan dan tidak pula menguntip-  nguntip aib dirinya. Akan tetapi apabila tampak jelas sesuatu pada dirinya, kita hukumi dirinya dengan yang tampak tersebut. Dan Allah tidak memberikan tugas kepada kita untuk mencari – cari aib orang lain. Serta membina persauaraan terhadap kaum muslimin. Sebagaimana firmanya dalam QS Al – Hujurat : 10.

71- وَلَا نَرَى السَّيْفَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أُمَّةِ محمد صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إلا من وجب عليه السيف
            Dan kami juga tidak berpandangan bolehnya mengangkat senjata terhadap seorang pun dari umat Nabi Muhammad Saw kecuali orang yang  memang wajib dihadapi dengan senjata.
                        Pada asalnya, darah seseorang yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat haram ditumpahkan. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim haram untuk ditumpahkan, dirampas, dan dinodai atau dilecehkan. Rasulullah saw bersabda,“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukannya, darah dan harta mereka pun terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam. Hisab (batin) mereka menjadi urusan Allah.”[21]
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan sesama kalian adalah haram (ditumpahkan, dirampas, dan dinodai) seharam hari kalian ini (hari ‘Arafah), di bulan kalian ini (Dzulhijjah), di negeri kalian ini (Mekah)…”[22]
Allah pun sudah berfiman, “Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”[23]
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar.”[24]
Beberapa hadits dan ayat di atas secara tegas menyebut bahwa penumpahan darah seorang muslim adalah sesuatu yang diharamkan. Bahkan dalam suatu kesempatan Rasulullah saw bersabda,
لَزَوَالُالدُّنْيَاأَهْوَنُعِنْدَاللهِمِنْقَتْلِرَجُلٍمُسْلِمٍ
Luluh-lantaknya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.”[25]
Tiga Penghalal
Namun, ada tiga perbuatan yang apabila seorang muslim melakukannya, darahnya tak lagi terlindungi. Rasulullah saw bersabda,
لَايَحِلُّدَمُامْرِئٍمُسْلِمٍيَشْهَدُأَنْلَاإِلَهإِلَّااللهوَأَنِّيرَسُولُالله،إِلَّابإحدىثَلَاثٍ : الثَّيِّبُالزَّانِي،وَالنَّفْسُبِالنَّفْسِ،وَالتَّارِكُلِدِينِهالْمُفَارِقُلِلْجَمَاعَة
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada ilah yang hak selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah kecuali karena tiga perkara: sudah menikah lalu berzina, membunuh sesama (muslim), dan meninggalkan agama—memisahkan diri dari al-Jamaah.”[26]
Rasulullah saw pernah merajam sampai mati Ma’iz, sahabat yang berzina dan seorang perempuan dari suku Ghamidi. Mengenai tetapnya hukum rajam ini, para ulama telah berijmak atasnya. Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Barang siapa tidak mempercayai hukum rajam, dia kafir terhadap Al-Qur`an tanpa dia sadari.”
Tentang wajibnya memberlakukan qishash: pembunuhan dibalas dengan pembunuhan pun para ulama telah berijmak atasnya. Jika seorang muslim mukallaf membunuh muslim lainnya dengan sengaja dan tanpa alasan yang benar, ia wajib dibunuh karenanya.
Allah berfirman,Hai orang-orang yang beriman!Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh.[27]
Orang yang meninggalkan Islam atau murtad juga dibunuh. Selain hadits di atas, Rasulullah saw bersabda,Barang siapa mengganti agamanya (murtad dari Islam), bunuhlah dia”[28]
Termasuk perbuatan meninggalkan Islam: apabila seseorang menolak salah satu rukun Islam, rukun iman, atau salah satu dari kewajiban Islam. Juga, meninggalkan shalat, menurut kebanyakan ulama.
Ulama sepakat: berzina setelah menikah, membunuh muslim lain, dan murtad adalah perbuatan yang menjadikan darah seorang muslim halal: boleh ditumpahkan. Hanya, pemberlakuannya mesti dibawah kontrol penguasa muslim agar tidak terjadi kekacauan.
72 - وَلَا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَا وإن جاروا ولا ندعوا عَلَيْهِمْ وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَةً مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَةٍ وَنَدْعُو لَهُمْ بِالصَّلَاحِ والمعافاة     
                                Kami juga tidak berpandangan bolehnya memberontak kepada para penguasa dan pemimpin kami. Sekalipun mereka dzolim.  Dan kami juga tidak mendo’akan mereka agar mendapatkan bencana atau kebinasaan. Dan kami juga tidak membolehkan mencabut tangan (baiat) dari kewajiban taat kepada mereka. Kami berpandangan bahwa mentaati mereka yang merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah adalah suatu kewajiban, selama mereka tidak memerintahkan  perbuatan maksiat. Dan berdo’a bagi mereka agar mendapatkan keshalihan dan dianugrahi keafiantan.
                        Ibnu Abdil 'Iz menyebutkan beberapa hadits yang berkenaan dengan masalah ini. Selanjutnya dia berkata, "Kita juga wajib taat kepada mereka sekalipun mereka berbuat dzalim. Karena, memberontak atau membelot akan lebih banyak mendatangkan kerusakan dibandingkan bila kita tetap taat kepada mereka. Bahkan, kalau kita bersabar mentaati mereka akan mengahapuskan berbagai keburukan-keburukan mereka. Allah menjadikan mereka berkuasa atas kita tidak lain karena keburukan amal kita. Memang hal itu sudah merupakan bentuk sebab akibat yang lumrah. Bila demikian, usaha yang perlu kita lakukan adalah memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Ta'ala dengan usngguh-sungguh, serta memperbaiki perbuatan kita. Qs. Asy Syuraa: 30, Qs. Al An'am: 129.
Cara menghilangkan kedzaliman adalah dengan bertaubat kepada Allah Ta'ala, meluruskan akidah, mendidik diri dan keluarga dengan pendidikan Islam secara benar. Qs. Ar Ra'du: 11.
Kita tidak mendoakan kejelekan untuk mereka dan tidak berlepas diri dengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib.          Tetapi ini tertuju untuk penguasa Muslim. Qs. An Nisaa`: 59. Terhadap penguasa kafir, kita wajib secara sungguh-sungguh menyiapkan diri baik moril maupun meteriil untuk mengusir mereka. Selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk mereka dan agar mereka dikaruniai kebaikan jasman maupun rohani.
Referensi :
1.      Al – Qur’an.
2.      At – Ta’liqat al – Mukhtasharah ala Matni al – Aqidah ath – Thahawiyah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al – Fauzan.
4.      Mutun Akidah at –thahawiyah bi ta’liq Al Bani
5.      Madzahib Arba’a.
6.      Hadits arbain, Imam An – Nawawi.
7.      SYARAH AQIDAH THOHAWIYAH Tahqiq : Syekh Muhammad Nasiruddin Al Albany
8.      Fathul Bari





[1]. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al – Fauzan, At – Ta’liqat al – Mukhtashsharah ala Matni al – Aqidah ath – Thahawiyah.hal 223 – 250.
[2]. QS. An-Nisa`: 150-151

[3]. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al – Fauzan, At – Ta’liqat al – Mukhtashsharah ala Matni al – Aqidah ath – Thahawiyah. Hal 223 – 225.
[4].QS. Al-Baqarah: 136-137

[5]. An-Nisa`: 152
[6]. HR. al-Bukhari
[7]. Fathul Bari: 2/446
[8]. QS. Al-Isra`: 55
[9]. QS. al-Baqarah: 253
[10]. HR. Ahmad, sanadnya shahih, menurut al-Albani
[11].QS. al-Baqarah: 132
[12]. QS. Yunus: 84
[13]. QS. Ali ‘Imran: 52
[14].  Dosa – dosa besar, Al Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Bin Ahmad Utsman adz- Dzahabi.
[15]. HR. Muslim no. 101
[16]. HR. Al –Bukhari no. 6874 dan Muslim no.98, 100 dan 101.
[17] . HR. Ad – Daruqutni : (2/43) no. 1743
[18]. Madzahib Arba’a.
[19]. SYARAH AQIDAH THOHAWIYAH Tahqiq : Syekh Muhammad Nasiruddin Al Albany
[20]. Hadits Arabin An –Nawawi, Hadits ke 4.
[21]. HR. al-Bukhari dan Muslim
[22].HR. al-Bukhari dan Muslim
[23]. QS. An-Nisa`:93
[24]. QS. Al-An’am:151
[25]. HR. an-Nasa`i dan at-Tirmidzi, shahih
[26]. HR. al-Bukhari dan Muslim
[27]. QS. al-Baqarah:178
[28]. HR. al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud , at-Tirmidzi, an-Nasa`i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban

0 komentar: